SUARA PEMBARUAN DAILY




Istimewa

 Peta Lokasi zona kerja sama Indonesia Australia untuk eksploitasi Celah Timor

Membagi Keuntungan Dari Minyak Celah Timor

 

Celah Timor daerah kurang dikenal dan kurang data-data geologinya. Dugaan bahwa kandungan 

minyak besar, barulah bisa dibuktikan jika ada pengeboran. 

Pengantar: 

Pada pertengahan Februari 1997, Australia mengumumkan secara berturut-turut, persiapan untuk mengeksploitasi empat ladang minyak di Celah Timor. Ini berarti, berakhirlah masa eksplorasi (penyelidikan) untuk sebagian besar kawasan yang disebut sebagai pusat deposit minyak dan gas alam terbesar di dunia (500 juta hingga 5 miliar barel dan 50.000 miliar kaki kubik). Dimulailah tahap eksploitasi atau masa produksi. 

Dan ini juga berarti, kekayaan sumber daya alam yang tersimpan di dasar Laut Timor dapat dimanfa-atkan sebagai sumber energi, untuk kepentingan kesejahteraan bangsa dan negara di masa depan. Meskipun demikian, dalam perwujudannya belum tentu Indonesia memperoleh bagian maksimal dari kandungan minyak (dan gas alam) di Celah Timor. 

Kupang sebagai salah satu base camp untuk eksplorasi dan eksploitasi Celah Timor, juga siap menerima era boom minyak dan gas di perairan Timor tersebut. Di bawah ini diturunkan tulisan wartawan Pembaruan Aco Manafe, Kristanto Hartadi serta koresponden di Kupang Adhie Malehere berkaitan dengan minyak di Celah Timor itu.

 - Redaksi

 ** missed drop char **Setelah menunggu delapan tahun sejak penandatanganan kesepakatan kerja sama eksplorasi Timor Gap, pada awal tahun 1997, Australia mengumumkan segera akan memulai tahap produksi tambang minyak di kawasan itu. 

Izin pertama bagi dua ladang minyak (di Zona A), di barat laut Australia, masing-masing Laminaria dan Corallina. Biaya persiapan produksi di dua ladang minyak Zona A yang membentang seluas 550 kilometer persegi itu, sebesar 1 miliar dolar Australia (sekitar Rp 2,4 triliun). Sedangkan persiapan kedua, adalah bagi ladang minyak Elang dan Kakatua (Zona C) zona kerja sama antara kedua negara, Indonesia dan Australia. 

Produksi ladang Laminaria dan Corallina, yang disebut-sebut sebagai dua ladang minyak terbesar dunia tersebut, akan dimulai akhir tahun 1999. Dua ladang di Zona A (dan mungkin B) tersebut mempunyai kandungan minyak sebesar 250 juta barel, dengan kapasitas produksi lebih dari setengah juta barel per hari. 

Sedangkan produksi di Ladang Elang dan Kakatua di Zona C, sekitar 33.000 barel per hari, karena depositnya diperkirakan hanya 15 juta barel. Awal eksploitasi di Zona C ini dimulai pada kuartal ketiga 1998, atau pada bulan September tahun depan. Biaya persiapan untuk mengelola tambang kedua ladang kerja sama Australia-Indonesia itu, sebesar 71,4 juta dolar AS (sekitar Rp 150 miliar).

 Mengapa Celah Timor begitu antusias dirundingkan kedua negara yang bertetangga itu? Sebab, meskipun suatu hasil positif penelitian geologis belum memastikan keka-yaan Laut Timor, akan tetapi berdasarkan analisis seismik, di Celah Timor setidaknya terdapat sekitar 500 juta hingga 5 miliar barel minyak serta 50.000 miliar kaki kubik gas alam.

 Jika analisis seismik tersebut benar, maka logikanya, pada masa Indonesia kehabisan kandungan dari sumur-summur minyaknya di kawasan barat Indonesia, maka sumber energi minyak dan gas alam di Celah Timor masih ada, dan cukup menjanjikan. Itulah juga sebabnya pihak-pihak di Tanah Air, ingin agar dalam perjanjian Celah Timor tersebut perlu adil dan menguntungkan Indonesia.

 Indonesia, menurut pernyataan Menteri Pertambangan dan Energi, Ginandjar Kartasasmita (Februari 1990) masih mempunyai cadangan minyak sebanyak 11 miliar barel. Jika setahun diambil setengah miliar barel, berarti dalam 20 tahun (tahun 2010), cadangan minyak Indonesia, akan habis.

 

Menguntungkan 

Penandatanganan perjanjian (11 Desember 1989, di atas pesawat) Celah Timor menunjukkan suatu kemajuan luar biasa karena menguntungkan secara ekonomis, bagi Indonesia dan Australia. Menlu Australia Gareth Evans (saat itu) dan Menlu RI Ali Alatas bersulang sampanye, saat pesawat Boeing 737 RAAF terbang selama 17 menit berputar di atas angksa Zona A Celah Timor. 

Kedua pembuat sejarah hubungan antarbangsa ini, didampingi Menteri Pertambangan RI, Ginandjar Kartasasmita dan Menteri Energi Australia Peter Cook serta pejabat-pejabat pertambangan kedua negara.

 Peristiwa ini penting dan perlu disambut baik. Sebab bila ditinjau dari segi penerapan hukum, maka masih tetap ada ganjalan, akibat perbedaan sistem hukum dalam penetapan batas kontinen Celah Timor. Kedua pihak-Indonesia dan Australia-tetap mempertahankan sistem hukum masing-masing. 

Indonesia ingin menetapkan batas perairan di Celah Timor dengan sistem median line dan ZEE (berdasarkan Konvensi Jenewa 1982). Sedangkan Australia dengan sistem bathymetric axis line, penetapan batas berdasarkan sumbu terdalam dari laut, atau Palung Timor-Banda. 

Menlu Ali Alatas menguraikannya secara rinci di depan DPR RI, menjelang ratifikasi RUU Celah Timor, pada akhir November 1990. Menlu mengatakan berdasarkan Konvensi Laut 1982, rezim Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) haruslah dibedakan dengan rezim batas landas kontinen. 

Inti rezim ZEE, (Pasal 56 Konvensi Laut) adalah hak berdaulat negara pantai sejauh dari 200 mil dari garis pangkal laut, atas sumber daya alam, baik hayati maupun nonhayati. Baik di laut maupun di dasar laut, serta lapisan tanah di bawahnya.

 Sedangkan berdasarkan ayat 3 (Pasal 56), hak-hak berdaulat atas dasar laut dan tanah di bawahnya, harus sesuai dengan Bab IV tentang Landas Kontinen. Berarti ada perbedaan antara ZEE bagi sumber daya alam hayati dengan dasar laut ZEE yang diatur oleh rezim (hukum) Landas Kontinen. Beda tafsir dan posisi hukum ini timbul dalam perundingan mengenai Celah Timor antara kedua negara. 

Kedua, sebelum penandatanganan juga muncul perdebatan dan kritik, bahwa seolah-olah pihak Indonesia menyerah atau dirugikan dalam perjanjian tersebut. Istilah "dirugikan" itu antara lain datang dari mendiang Prof Ir Herman Johanes, mantan Rektor UGM, yang menginginkan agar pembagian keuntungan hasil produksi minyak Celah Timor itu berimbang (50:50). 

Dari pihak lain juga, khususnya DPR-RI meminta agar Indonesia tetap menerapkan sistem hukum median line, atau bahkan berdasarkan batas 200 mil dari zona ekonomi eksklusif (ZEE). Kritik dan masukan yang tak mungkin diterima Australia dan mencapai suatu kesepakatan seperti sekarang, karena Australia tetap menggunakan sistem hukum berdasarkan batas sumbu terdalam tersebut (bathymetric axis line). 

Ketiga, semua pihak harus menyambut baik kesepakatan itu. Berkat ketekunan diplomasi, kedua pihak dapat menghindari perbedaan prinsip tersebut dan menempuh cara-cara yang lebih efektif secara ekonomis, yakni menetapkan perjanjian kerja sama tersebut.

 Pada prinsipnya, desakan atau permintaan berbagai pihak di Tanah Air tersebut, dengan asumsi, bahwa Indonesia mendapatkan sebagian besar wilayah penggarapan Celah Timor seluas 61.000 kilometer persegi itu, secara adil dan menguntungkan. Yakni bukan saja Zona C yang luasnya hanya 5.900 kilometer persegi. Akan tetapi mencakup sampai ke Zona B dan Zona A di selatan yang menurut dugaan mempunyai deposit minyak yang terbesar.

 Di saat itu, mendiang Prof Johanes menolak kesepakatan tersebut, karena menganggap kesepakatan memberikan bagian kepada Indonesia (Zona C) itu hanya fiktif. Artinya, kandungan minyak di Zona C-nya, nol atau amat sedikit. Dan kalau memberikan bagian 50 persen kepada Australia bagi Zona A, dan menerima bagian hanya 1,6 persen dari Zona B, juga sama dengan memberikan porsi yang terlalu besar untuk Australia, dan dengan sendirinya amat tidak adil (bagi Indonesia).

 Namun kemudian masalah perbedaan pendapat mulai mereda, setelah Menlu Alatas mengirim dua pejabat tinggi Deplu menemui Prof Johanes di Yogya. Kedua pejabat tinggi Deplu itu mengadakan pendekatan dan memberikan berbagai informasi mengenai kesepakatan yang telah dicapai. Mereka adalah Noegroho Wisnumurti, Direktur Perjanjian Internasional Deplu RI yang juga Ketua Perunding RI serta Dirjen Perjanjian Internasional Deplu RI Wicaksono.

 Sebenarnya juga ada kesimpangsiuran dalam pemberitaan-pemberitaan sebelumnya. Harus disadari bahwa isu apa pun, asal mengenai sumber daya alam, seperti gas alam, minyak dan emas, tentu merupakan hal yang amat sensitif. Jika tidak akurat data-data dasar dan sistem hukum yang digunakan, pasti menimbulkan polemik berkepanjangan yang bisa merugikan. 

Selain menyangkut kekayaan alam negara dan bangsa, juga menjadi sumber energi andalan yang menentukan aktivitas manusia dan berbagai produksi perekonomian. Minyak dan gas alam juga menjadi alat politik dan gengsi suatu bangsa.

 Lihat saja Irak dan Iran, dua negara Timur Tengah yang kaya sumber minyak. Atau Kuwait dan Arab Saudi. Kekayaan negara-negara itu berlimpah. Sampai-sampai Amerika dan 27 negara sekutunya ikut campur ketika Irak menginvasi Kuwait. Negara-negara dunia juga cemas, ketika perang Irak-Iran, dua raksasa minyak Timur Tengah (1980-1988).

 Amerika meskipun benci terhadap Saddam Hussein, tetap saja mengarahkan pusat perhatian dan manuver politiknya terhadap berbagai masalah negeri itu. Sama halnya sikap AS terhadap Kuwait dan Arab Saudi. Barometer politik dunia, tergantung juga terhadap kondisi internal negara-negara tersebut. 

Satu hal yang mestinya dipahami adalah misalnya penggunaan istilah treaty atas perjanjian kerja sama tersebut. Padahal itu hanyalah suatu agreement (kesepakatan). Meskipun bentuk atau tingkatnya kesepakatan, namun kenyataannya untuk memperoleh kekuatan hukum kedua pihak, maka kesepakatan 11 Desember 1989 mengenai tambang minyak Celah Timor itu diratifikasi parlemen kedua negara. RUU mengenai Celah Timor disahkan DPR-RI tanggal 12 Desember 1990.

 

Meragukan

 

Berdasarkan asumsi-asumi geologis, sebenarnya di pihak Indonesia tidaklah begitu optimis mengenai kandungan minyak dan gas alam di Celah Timor tersebut. Para pakar, seperti di Bakosurtanal maupun Pusat Pengembangan Geologi Kelautan, masih meragukan apakah Celah Timor (yang berada dalam jangkauan Indonesia) mempunyai deposit yang besar. 

Sebab, ada analisis geologi/geoteknik yang mengatakan, bahwa justru lempengan kerak bumi (lempeng Hindia-Australia) yang berada dekat Australialah yang mempunyai empat syarat utama. Syarat bagi menampung kandungan minyak dan gas alam. Seperti tersedianya batu induk yang mengadung material organik, batuan waduk dan pori-pori yang mengalirkan hidrokarbon. 

Syarat lainnya adalah tersedianya perang-kap, sebagai tempat untuk menampung mi-nyak dan keempat adanya lapisan penutup atau penyekap agar minyaknya tidak lari dari batuan waduk ke permukaan laut, atau tanah.

 Rupanya bagian barat laut Lempeng Australia atau yang disebut cekungan pada Teluk Bonaparte, Laut Arafura dan selatan Tanim-bar mempunyai keempat syarat geologi/geotektonik tersebut. Dari 50 sumur yang digali Australia dikatakan kebanyakan kering, dan hanya sebagian mengandung gas alam.

 Jadi sebenarnya deposit minyak di celah Timor masih merupakan asumsi berdasarkan analisis seismik, dan belum diteliti secara akurat misalnya melalui pengeboran di semua bagian yang diduga banyak menyimpan deposit.

 Apalagi, Australia seperti dilaporkan di atas, setelah mengebor 50 sumur di dekat Zo-na A, ternyata semuanya menunjukkan nihil. Jadi Indonesia berdasarkan kesepakatan ini, setidaknya hanya bisa menerima bagian yang sedikit, dari kandungan minyak Laut Timor.

 Prof JA Katili sebagai guru besar geologi pernah mengemukakan (November 1990), bahwa Celah Timor sebagai daerah kurang dikenal sebelumnya -frontier area, masih kurang data-data geologinya. Dugaan bahwa kandungan minyak besar, barulah bisa dibuktikan jika ada pengeboran. Jangan mengandalkan penginderaan jarak jauh maupun data satelit, maupun. Sebab sama saja dengan omong kosong, ujar Katili.

 Upaya eksplorasinya pun berisiko tinggi, karena data-data geologi Celah Timor belum banyak. Risiko lainnya juga akibat dalamnya perairan (300-1.500), khususnya di Cekungan Bonaparte (Bonaparte Basin), sehingga banyak pengeboran yang gagal. 

Pada saat bersamaan Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI), Ir Poernomo Prijosoesilo juga mengatakan, data-data keberadaan minyak di Celah Timor baru bisa diambil dari lima sumur (Flamingo I). Sumur ini hanya menghasilkan sedikit minyak dan gas. Meskipun demikian, di atas bentuk kerja sama tersebut, Indonesia bisa berupaya mendapat konsesi-konsesi tertentu. Ini lebih baik, daripada harus membeli minyak dari Timur Tengah, Amerika Utara atau Rusia, yang nota bene harganya dan risiko pengangkutannya lebih besar.

 

Untuk Daerah

 

Apa manfaat minyak Celah Timor bagi daerah? Ini yang harus dipertanyakan. Pertama, karena secara hukum daerah seperti NTT dan Timtim berada dalam ketentuan negara kesatuan yang berdasarkan UUD 1945. 

Kedua, pengelolaan sumber daya alam biasanya dikuasai negara. Hanya kalimat selanjutnya (dari Pasal 33 UUD 1945), adalah bahwa kekayaan bumi, air dan lainnya harus digunakan sebesar-besarnya bagi kesejahteraan rakyat.

 Pada saat perundingan Celah Timor (1989-1990). Gubernur Mario Carrascalao pernah meminta agar supaya base camp eksplorasi dan eksploitasi yang didirikan (di Australia dan Indonesia), bagi Indonesia, sebaiknya berada di Dili. Jadi bukan di Kupang, NTT.

 Dalam ketentuan terdahulu (berdasarkan Joint Authority), memang disebutkan bahwa base camp, markas operasional Celah Timor dibangun di Kota Darwin (Australia) dan di Kupang (Indonesia).

 Tentu permintaan Gubernur Timtim itu logis dari sudut politik untuk menenteramkan kondisi kejiwaan di Timtim. Namun, dalam pelaksanaan kerja, penempatan pangkalan kerja di Dili, juga bisa terganggu oleh berbagai aktivitas yang menentang integrasi Timtim ke Indonesia. Barangkali ini juga yang menyebabkan usul Mario Carrascalao yang baik itu terabaikan. ***




Istimewa

 TERAPUNG - Eksploitasi minyak di Celah Timor, tidak digunakan sistem pengeboran lepas pantai yang biasa yakni dengan fasilitas "rig" tiang pancangtetapi dengan sistem terapung seperti gambar di atas.

Siapkah NTT Hadapi Peluang Yang Terbuka? 

Kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Celah Timor juga 

menyebabkan masyarakat tidak siap mengantisipasi peluang yang 

terbuka pada eksploitasi Celah Timor

 

P rovinsi Nusa Tenggara Timur (NTT) yang merupakan wilayah terdekat dengan kawasan eksploitasi Celah Timor, tentunya akan menikmati keuntungan terbesar dalam kegiatan pengeboran sumber daya minyak dan gas bumi di situ. Akan tetapi tentunya semua bergantung dari kesiapan Pemda dan masyarakat NTT dalam mengantisipasi tahap eksploitasinya.

 Bagi Pemda NTT, peluang yang dijanjikan Celah Timor dengan deposit minyak dan gas bumi, patut dimanfaatkan semaksimal mungkin. Meskipun dalam hal ini keterlibatan NTT hanya sebatas penyediaan lokasi pangkalan kerja atau supply base maupun tenaga kerja pada strata tertentu.

 Wakil Gubernur NTT, Pieter Alexander Tallo SH mengungkapkan, dari aspek kelembagaan, Pemda NTT tetap berupaya semaksimal mungkin agar dapat menjadi bagian dari proses produksi potensi migas yang ada di Celah Timor. Di samping itu, tetap membenahi infrastruktur yang ada sebagai sarana pendukung Celah Timor. Antara lain, dengan meningkatakan fasilitas kepelabuhanan, sarana kesehatan, serta sarana lainnya yang berkaitan dengan kedekatan Kupang sebagai pelabuhan terdekat ke Celah Timor.

 ''Kita berusama meningkatkan berbagai sarana yang ada. Minimal memenuhi permintaan para pelaksana pengeboran minyak dan gas bumi di Celah Timor. Beberapa sarana yang telah ditingkatkan kualitas pelayanannya, seperti pelabuhan Tenau Kupang, Bandara El Tari dan sarana penginapan telah dimanfaatkan,'' katanya. 

Untuk mengantisipasi kebutuhan tenaga kerja yang diperlukan dalam membangun berbagai prasarana maupun yang bisa dilibatkan dalam proyek pengeboran minyak, pihak Departemen Tenaga Kerja telah menyiapkan berbagai program pelatihan untuk berbagai jenis keterampilan. Tinggal disesuaikan dengan permintaan dari perusahaan yang membutuhkan. Kawasan industri Bolok juga merupakan bagian dari kesiapan Pemda NTT mengantisipasi tahapan produksi Celah Timor. Tentunya, diikuti pembenahan berbagai permasalahan yang berkaitan dengan pembebasan tanah dari masyarakat tersebut.

 Secara terpisah, Bupati Kupang, Paul Lawa Rihi mengakui, mestinya Pemda NTT diinformasikan tentang kebutuhan jenis tenaga kerja yang dapat direkrut dari NTT. Dengan demikian, secara dini dapat dipersiapkan lewat berbagai program pelatihan yang dapat dilaksanakan di Kupang, maupun di luar NTT.

 Kehadiran Celah Timor sebenarnya menjanjikan peluang keuntungan bagi NTT. Namun kendalanya terbentur pada berbagai keterbatasan, baik pada SDM maupun sumber daya alam yang ada. Ini berarti, perlu dipacu peningkatan SDM maupun potensi sumber daya alam yang ada, sehingga dapat memanfaatkan peluang Celah Timor itu sendiri.

 Ia mengakui, berbagai fasilitas penginapan dan hiburan perlu disiapkan agar dapat dimanfaatkan para pekerja tambang minyak dan gas bumi yang akan tinggal lama di rig (ajungan minyak lepas pantai). Kalau tidak, pekerja tersebut akan memanfaatkan waktu istirahatnya di Lombok atau Bali yang sudah terkenal dengan kemajuan sektor pariwisatanya. 

Selain itu, sebenarnya ada peluang pasar terutama sayur-sayuran, daging dan buah-buahan yang dapat disuplai bagi kebutuhan anjungan minyak yang ditempatkan di Celah Timor. Untuk daging, tentunya tidak menjadi masalah karena NTT merupakan salah satu lumbung ternak nasional. Tetapi bagaimana dengan sayur-sayuran dan buah-buahan yang sangat terbatas di NTT? 

Belum Siap

 

Secara umum, agaknya NTT belum siap menghadapi tahapan eksploitasi Celah Timor. Meskipun sebenarnya pemda dan masyarakat NTT dapat menikmati berbagai peluang yang berkaitan dengan kegiatan penambangan minyak lepas pantai tersebut. Selama ini, Pemda NTT hanya menunggu bagaimana kegiatan eksploitasi tersebut. Apalagi, masalah penambangan minyak dan gas bumi merupakan porsi yang ditangani langsung pemerintah pusat. Setidaknya NTT hanya memperoleh bagian lewat kucuran dana PBB (Pajak Bumi dan Bangunan) lepas pantai.

 Rencana pembangunan supply base celah Timor di kawasan Bolok, Kecamatan Kupang Barat, hingga kini baru dalam tahap pembebasan tanah yang dilakukan PT Elnusa, sebuah anak perusahaan Pertamina. Sedangkan pembangunan fisiknya belum dimulai. Itulah sebabnya, secara umum NTT belum siap mengantisipasi peluang yang diberikan dari penambangan minyak dan gas bumi di Celah Timor.

 Masyarakat NTT umumnya tidak mengetahui berbagai kegiatan yang berkaitan dengan Celah Timor. Ini terbukti dari komentar berbagai pihak, ketika ditanyakan tentang keberhasilan eksplorasi dan segera dimulainya tahap eksploitasi di Celah Timor.

 Gustaf Jacob SH, seorang praktisi hukum di Kupang kepada Pembaruan mengatakan, hasil eksplorasi Celah Timor patut disambut gembira karena tentunya akan memberikan dampak bagi kesejahteraan masyarakat Indonesia. Sementara itu, NTT yang dekat dengan Celah Timor, agaknya belum terlampau siap dalam mengantisipasi tahap eksploitasi Celah Timor.

 Contohnya, penyiapan prasarana supply base Celah Timor di kawasan Bolok, hendaknya mendapat dukungan penuh dari Pemda NTT agar dipacu pembangunannya. Pembebasan tanah bagi fasilitas tersebut yang dila-kukan PT Elnusa (anak perusahaan milik Per-tamina), masih menghadapi berbagai kendala karena harus diselesaikan di depan pengadilan.

 Menurut Gustaf Jacob SH, apabila prasarana yang diharapkan sebagai basis operasional eksploitasi Celah Timor tersebut terhambat dan terlambat pembangunannya, tentunya akan merugikan masyarakat dan Pemda NTT sendiri. 

''Hingga kini SDM di NTT masih dalam tahap persiapan manusianya sendiri, karena katanya penyiapan SDM itu memerlukan jangka waktu panjang. Padahal, agaknya NTT belum serius dalam memulai penyiapan SDM itu sendiri. Konsentrasi berbagai sektor untuk menyiapkan SDM harus dipacu,'' kilahnya.

 Sebenarnya, angka pengangguran di NTT cukup besar sehingga dapat dipersiapkan men-jadi tenaga kerja yang handal dalam kegiatan eksplotasi Celah Timor. Balai La-tihan Kerja pada Kanwil Departemen Tenaga Kerja NTT sendiri, belum memprogramkan pelatihan yang mengarah pada penguasaan teknologi yang berkaitan dengan eksploitasi minyak dan gas bumi.

 Ia menilai, kurangnya pengetahuan masyarakat tentang Celah Timor juga menyebab-kan masyarakat tidak siap mengantisipasi peluang yang ada. Itulah sebabnya, masyarakat perlu diberikan penyuluhan, baik lewat media cetak maupun elektronik, sehingga dapat memanfaatkan berbagai peluang yang berkaitan dengan kegiatan tersebut.

 Ditetapkannya NTT sebagai lokasi pemba-ngunan pangkalan kerja (supply base) Celah Timor, tentunya sangat menggembirakan. PT Elnusa, salah satu anak perusahaan Pertamina sendiri sejak dua tahun lalu berusaha membebaskan tanah bagi lokasi pangkalan kerja tersebut di Bolok, Kupang Barat.

 Usaha pembebasan tanah tersebut memang berjalan lamban, karena ternyata banyak pihak yang mengakui sebagai ahli waris yang sah. Meskipun secara hukum, tidak ada secarik bukti tertulis yang menjelaskan bahwa lokasi tersebut merupakan milik seseorang.

 Setelah menghadapi kendala, barulah dilakukan pendekatan dengan Pemda Kabupaten Kupang untuk penyelesaiannya. Namun persoalan semakin meluas, lantaran muncul beberapa pihak lain yang mengaku sebagai pewaris sebenarnya. Ini mengakibatkan pembayaran ganti rugi tanah terhambat.

 Danrem 161 Wirasakti, Kol (Inf) Tony Rompis secara terpisah mengatakan, pihaknya telah membantu Pemda NTT dalam menyelesaikan masalah pembebasan tanah bagi lokasi suply base yang disiapkan PT El Nusa. Selama ini, kendala utama yang mengganjal sehingga pembebasan tanah tersebut berlarut-larut adalah bersumber dari PT El Nusa sendiri.

 Menurut Danrem, penetapan pembangunan suply base Celah Timor di Kupang, sebenarnya sangat menguntungkan masyarakat NTT. Paling tidak, untuk pembangunannya membutuhkan cukup banyak tenaga kerja. Sementara itu, pihak PT El Nusa sendiri telah berjanji akan memanfaatkan tenaga kerja lokal.***


The CyberNews was brought to You by the OnLine Staff


  Gewijzigd op: GMT