Dari Pohon Tidak Produktif
Diakui atau tidak, hingga kini masih banyak orang yang salah mempersepsikan pengertian ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek). Iptek masih selalu diartikan sebagai sesuatu yang sulit, rumit, canggih serta mahal. Dan orang-orang yang bisa terlibat dalam kegiatan iptek tersebut haruslah yang bergelar sarjana, khususnya para insinyur.
Padahal, tidak semua produk iptek harus canggih dan mahal, karena banyak produk iptek yang dibuat dari bahan baku murah dengan cara yang sederhana, namun hasilnya bernilai ekonomis dan menyentuh kebutuhan masyarakat. Dan para pembuat produk-produk teknologi tepatguna itu tidaklah harus seorang insinyur.
Salah satu contoh aplikasi iptek tepatguna hasil rekayasa orang awam, namun berguna bagi banyak orang bisa dilihat di Kabupaten Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT), daerah yang selama ini diidentikkan dengan keterbelakangan dan ketertinggalan.
Produk yang dihasilkan sederhana saja, yakni bahan makanan (tepung) dengan bahan baku yang diolah dari pohon gewang (sejenis pohon palma namun tidak produktif) yang banyak tumbuh di kegersangan tanah NTT.
Adalah Drs Ibrahim Agustinus Medah, mantan Ketua DPRD Kabupaten Kupang yang mempelopori pembuatan tepung berkualitas tinggi dengan bahan baku yang diambil dari pohon gewang tersebut. Dengan sedikit rekayasa teknologi sederhana, pohon yang selama ini oleh masyarakat NTT, khususnya di Kabupaten Kupang hanya digunakan sebagai kayu bakar dan bahan pembuat bangunan diubah menjadi bahan pangan yang bernilai ekonomis cukup tinggi.
Mesin Pengolah
Dengan dukungan penuh dari mitranya, Bupati Kupang Paul Lawarihi, Ibrahim Medah yang sarjana sospol namun lebih tertarik pada masalah iptek tepatguna, mendesain dan merekayasa sebuah mesin pengolah sederhana untuk mengubah pohon yang tidak produktif menjadi komoditas yang bisa memberikan kontribusi bagi APBD Kabupaten Kupang.
''Lewat kerja sama dengan sebuah perusahaan swasta di sini, tepung yang dibuat dari pohon gewang ini sudah kami 'ekspor' ke Surabaya untuk dipakai sebagai bahan baku utama pembuatan sohun (sejenis bihun dengan ukuran lebih besar) yang berkualitas tinggi,'' ujar Medah kepada Pembaruan di Kupang baru-baru ini.
Namun, lanjutnya, hingga kini jumlah ekspor tersebut masih terbatas karena kapasitas produksi mesin pengolah yang ada masih terbatas. Untuk itu, kami sudah mendesain sebuah mesin dengan kapasitas yang lebih besar dan saat ini sedang dikerjakan di Semarang.
''Kami belum bisa merekayasa mesin tersebut di sini, karena fasilitas perbengkelan yang ada masih sangat terbatas,'' katanya sembari menambahkan bahwa sesuai hasil pemeriksaan laboratorium, selain sohun tepung gewang juga sangat bagus untuk bahan baku pembuatan kue.
Ia menjelaskan, dengan bantuan mesin pengolah tersebut hampir semua bagian pohon gewang bisa dimanfaatkan. Dari sebuah pohon yang berumur lebih kurang 20 tahun dengan berat yang umumnya berkisar 700-1.000 kilogram, bisa diperoleh tepung sebanyak 150 kilogram.
Sedangkan bagian pohon gewang yang tidak digunakan untuk pembuatan tepung seperti batang yang keras sepanjang empat sampai enam meter, dapat dibuat balok untuk bahan bangunan. Sementara daun dan pelepahnya dapat dimanfaatkan sebagai atap dan pagar rumah.
Dari bahan baku yang bisa diproses menjadi tepung (setiap pohon beratnya 700 hingga 1.000 kilogram) akan diperoleh tepung sebanyak 15-25 persen (setiap pohonnya dapat diperoleh lebih kurang 150 kilogram tepung), dan ampas sebanyak 15-30 persen (setiap pohonnya dapat diperoleh sekitar 175 kilogram ampas). Ampas tersebut dapat digunakan untuk makanan ternak.
''Pohon gewang yang berumur 20 tahun atau lebih, apabila tidak dimanfaatkan, akan mati dengan sendirinya, sehingga sayang jika potensi yang ada tidak dimanfaatkan,'' ujarnya.
Dengan memproduksi tepung gewang, menurut Medah, bisa diperoleh keuntungan ganda, yakni mendayagunakan pohon yang sudah tua dan tidak produktif, serta membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang tinggal dekat hutan gewang.
''Mereka diberi kesempatan untuk menebang pohon yang sudah tua dan menjualnya pada perusahaan yang memproduksi tepung gewang,'' katanya lagi.
Manfaat lainnya, membuka lapangan kerja bagi masyarakat yang berniat bekerja di perusahaan yang memproduksi tepung gewang, meningkatkan pendapatan daerah/pendapatan negara melalui retribusi/pajak yang terpungut dan memenuhi permintaan pasar sangat besar.
Tersebar
Ia menjelaskan lebih jauh, jumlah areal pohon gewang di Kabupaten Dati II Kupang sekitar 25 ribu hektare, yang tersebar di Kecamatan Kupang Timur, Fatuleu, Sulamu, Amfoang Selatan, Amfoang Utara, Amarasi dan Pulau Rote.
Jumlah pohon yang siap panen pada areal tersebut di atas lima juta, sedangkan jumlah pohon yang siap panen yang dekat dengan lokasi pengolahan di Desa Tarus Kecamatan Kupang Tengah sekitar 625.000 pohon. Pohon tersebut tumbuh di atas areal seluas lebih kurang 3.000 hektare atau sekitar 12 persen dari total areal pohon gewang yang ada di Kabupaten Kupang.
Secara matematis, katanya, bila tiap hari ingin diproduksi tepung sebanyak 10 ton, maka bahan baku yang dibutuhkan sekitar 70 ton tiap hari atau sebanyak 70 pohon setiap harinya. Dalam satu tahun produksi dibutuhkan 300 (hari kerja dalam satu tahun) X 70 pohon = 21.000 pohon.
Apabila kapasitas produksi hanya 10 ton tepung per hari, maka pohon yang terpakai dalam satu tahunnya 3,36 persen dari jumlah pohon siap panen yang berada di atas areal hanya seluas 3.000 hektare.
''Dengan demikian kapasitas produksi masih dapat ditingkatkan sampai dengan 50 ton tepung per hari dengan memanen pohon yang sudah siap panen pada areal yang hanya 3.000 hektare itu. Ini merupakan suatu produk yang bernilai ekonomis tinggi,'' paparnya.
Apabila produksi mencapai 50 ton tepung per hari, maka jumlah pohon yang dibutuhkan adalah 5 X 70 pohon X 300 hari kerja = 105.000 pohon per tahun. Dengan demikian jumlah pohon yang siap panen yang berada di atas areal sebanyak 3.000 hektare, dalam tempo enam tahun akan habis ditebang. Tetapi dalam kurun waktu enam tahun tersebut pohon-pohon usia muda sudah siap panen lagi, sehingga produksi tidak pernah terhenti.
Menurut Medah, ada dua kontribusi tepung gewang bagi Dati II Kupang jika tingkat produksinya dipacu mencapai 50 ton per hari. Pertama, jumlah tenaga kerja yang diserap tiap hari kerja sebanyak 750 orang (tiap ton produksi membutuhkan tenaga 15 orang).
Kedua, pajak dan restribusi lebih kurang Rp 50 tiap kilogram tepung = 50.000 kilogram X 300 hari kerja dalam satu tahun X Rp 50 = Rp 750 juta. Pajak dan restribusi ini akan menjadi lebih besar jika kapasitas produksi ditingkatkan lagi, termasuk pula penyerapan tenaga kerja.
''Kapasitas produksi sebesar 50 ton tepung per hari akan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi Kabupaten Dati II Kupang, baik berupa penyerapan tenaga kerja (lebih dari 750 orang) maupun berupa pajak dan retribusi yang bisa mencapai Rp 750 juta per tahun,'' tandasnya.
Jangka Panjang
Untuk menjaga kontinuitas produksi jangka panjang, menurut Medah, diperlukan areal khusus yang dirawat sendiri oleh perusahaan yang memproduksi tepung. Areal tersebut bisa didapat dari hutan gewang yang kini sudah ada dengan cara mengubah status hutan tersebut, dari Hutan Rakyat menjadi Hutan Tanaman Industri (HTI).
Agar rakyat bersedia mengubah hutan rakyat menjadi HTI, maka areal tersebut harus relatif jauh dari permukiman dan perlu diberi kompensasi kepada rakyat setempat berupa pencetakan sawah baru seluas yang disepakati bersama dengan masyarakat setempat.
Selain itu, rakyat juga diberikan kebebasan untuk boleh mengambil kayu dan daun gewang dari dalam HTI tanpa merusak HTI. Kayu dan daun yang diambil tidak mengganggu pertumbuhan pohon gewang.
Di sinilah bisa dilihat peran iptek tepatguna bagi masyarakat banyak. Adalah percuma iptek yang canggih-canggih berteknologi tinggi, kalau tidak bisa mendatangkan keuntungan ekonomis dan juga tidak bisa menyentuh kebutuhan ''real'' masyarakat.
- Pembaruan/Chris Mboeik